Archive for the ‘Materi Keperawatan’ Category


A. DEFINISI

Miokarditis akut adalah proses inflamasi di miokardium

 

B. PATOFISIOLOGI

Proses infeksi terutama oleh virus, bakteri, jamur, parasit, protozoa dan spinoseta atau adanya keadaan hipersensitivitas ( demam rematik ) merupakan penyebab terjadinya miokarditis. Jadi miokarditis dapat terjadi pada psien dengan infeksi akut yang menerima terapi imunosupresif atau yang menderita endokarditis infeksi. Miokarditis bisa menyebabkan dilatasi jantung, trombus dalam dinding jantung ( mural trombi ) infiltrasi sel darah yang beredar di sekitar pembuluh koroner dan diantara serabut otot dan degenerasi serabut otot itu sendiri.

 

C. MANIFESTASI KLINIS

Gejala miokarditis ini dipengaruhi oleh jenis infeksi, derajat kerusakan jantung dan kemampuan miokardium memulihkan diri. Gejalanya biasanya ringan atau bahkan tidak sama sekali. Pasien dengan miokarditis mungkin hanya mengalami kelelahan dan dispneu, berdebar-debar dan kadang rasa tidak nyaman di dada dan perut atas. Dengan adanya pemeriksaan klinis mungkin memperlihatkan pembesaran jantung, suara jantung tambahan, irama gallop dan bising sistolik. Dan biasanya terdengar friction rub pericardial bila pasien mengalami perikarditis juga. Denyut alternans ( denyut dimana terdapat perubahan reguler antara denyut kuat dan lemah ) mungkin ditemukan. Demam dan takikardia sering ada dan gejala gagal jantung kongesti bisa terjadi.

 

D. PENATALAKSANAAN

Pasien diberi pengobatan khusus terhadap penyebab yang mendasarinya, bila diketahui  ( misalnya penisillin untuk streptokokkus hemolitikus ) dan dibaringkan di tempat tidur untuk mengurangi beban jantung. Berbaring juga membantu mengurangi kerusakan miokardial residual dan komplikasi miokarditis.pengobatan pada dasarnya sama dengan yang digunakan untuk gagal jantung kongestif.

Fungsi jantung dan suhu tubuh selalu di evaluasi untuk menentukan apakah penyakit sudah menghilang dan apakah sudah terjadi gagal jantung kongestik. Bila terjadi disritmia pasien harus dirawat di unit yang mempunyai sarana pemantauan jantung berkesinambungan sehingga personel dan peralatan selalu tersedia bila terjadi disritmia yang mengancam jiwa.

Bila telah terjadi gagal jantung kongestif, harus diberi obat untuk memperlambat frekuensi jantung dan meningkatkan kekuatan kontraktilitas.stoking elastik dan latihan aktif dan pasif harus dilakukan karena embolisasi dari trombus vena dan mural trombi dapat terjadi.

Pasien dengan miokarditis sangat sensitif terhadap digitalis, maka pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya toksisisitas digitalis ( dibuktikan dengan adanya disritmia, anoreksia, nausea, muntah, bradikardia, sakit kepala dan malaise )

 

E. PENCEGAHAN

Pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi yang tepat dan penanganan awal nampaknya sangat penting dalam menurunkan insidensi miokarditis. Setelah mengalami suatu episode miokarditis biasanya masih tersisa pembesaran jantung. Aktifitas fisik harus ditingkatkan dengan perlahan-lahan dan bertahap , pasien di instruksikan untuk melaporkan gejala yang dirasakan saat aktifitas meningkat seprti jantung berdenyut cepat sekali, olahraga yang kompetitif dan alkohol sama sekali harus dihindari.

 

F. PENGKAJIAN

1. Aktifitas / Istirahat

Gejala : kelelahan dan kelemahan

Tanda : Takikardi, penurunan TD, Dispnea dengan aktifitas

2. Sirkulasi

Gejala : Riwayat demam rematik, penyakit jantung kongenital, Infark miokard, bedah jantung ( CABG / penggantian katup / by pass kardiopulmonal lama ), palpitasi, jatuh pingsan

Tanda : Takikardia, disritmia , perpindahan TIM ( Titik influks Maksimal ) kiri dan inferior (pembesaran jantung ) Friction Rub perikardial biasanya intermitten ( terdengar di batas sternal kiri ) murmur aortik, mitral ,stenosis / insufisiensi trikuspid, perubahan dalam murmur yang mendahului, disfungsi otot papilar, irama gallop ( S3 dan S4 ), bunyi jantung normal pada awal perikarditis akut , edema, DVJ ( GJK ) petekie ( konjungtiva, membran mukosa ) hemoragi splinter ( punggung kuku ) nodus osler ( jari/ ibu jari )lesi janiwae ( telapak tangan / telapak kaki )

3. Eliminasi

Gejala : Riwayat penyakit ginjal / gagal ginjal. Penurunan frekuensi/ jumlah urine.

Tanda : urine pekat dan gelap

4. Nyeri / ketidaknyamanan

Gejala : nyeri pada dada anterior ( sedang sampai berat/ tajam ) diperberat oleh inspirasi, batuk, gerakan menelan, berbaring, hilang dengan duduk bersandar ke depan ( perikarditis )tidak hilang dengan nitrogliserin. Nyeri dada /punggung/ sendi ( endokarditis )

Tanda : perilaku distraksi misal gelisah

5. Pernafasan

Gejala : Nafas pendek ; nafas pendek kronis memburuk pada malam hari ( miokarditis )

Tanda : Dispneu nokturnal, batuk, inspirasi mengi, takipnea, krekels dan ronki, pernafasan dangkal

6. Keamanan

Gejala : Riwayat infeksi virus, bakteri, jamur ( miokarditis ) penurunan sistem imun, misal program terapi imunosupresi

Tanda : Demam

7. Penyuluhan / pembelajaran

Gejala : terapi IV jangka panjang atau penggunaan kateter indwelling atau penyalahgunaan obat parenteral.

Pertimbangan rencana pemulangan : DRG menunjukkan rerata 5,5 hari.

 

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. EKG : Dapat menunjukkan iskemia, hiopertropi, blok konduksi, disritmia ( peninggian ST dapat terjadi pada kebanyakan lead ) depresi PR

2. Enzim jantung : CPK mungkin tinggi, tetapi isoenzim MB tidak ada

3. Sinar X dada : dapat menunjukkan pembesaran jantung ,infiltrasi pulmonal.

 

H.DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1. Nyeri akut b/d inflamasi miokardium

Tujuan : -nyeri hilang/terkontrol

–          Peningkatan rasa nyaman pasien

Intervensi :

a. selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan awitan dan faktor pemberat dan penurun

R/ nyeri perikarditis secara khas terletak substernal dan dapat ke leher dan punggung. Namun ini berbeda dari iskhemia miokardium / nyeri infark, pada nyeri ini buruk pada inspirasi dalam , gerakan atau berbaring dan hilang dengan duduk tegak/ membungkuk.

b. berikan lingkungan yang tenang dan tindakan kenyamanan misal perubahan posisi , gosokan punggung ,penggunaan kompres panas / dingin, dukungan emosional

R/ tindakan ini dapat menurunkan ketidaknyamanan fisik dari emosional pasien

c. kolaborasi : berikan obat-obatan sesuai indikasi

– Agen nonsteroid misal : indometasin ( indocin ) ,ASA ( Aspirin )

R/ dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respon inflamasi.

– Anti piretik misal : ASA/ asetaminofen ( tylenol )

R/ untuk menurunkan demam dan meningkatkan kenyamanan

– Steroid

R/ dapat diberikan untuk gejala yang lebih berat

d. berikan oksigen suplemen sesuai indikasi

R/ memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk menurunkan beban kerja jantung dan menurunkan ketidaknyamanan berkenaan dengan iskhemia

2. Intoleransi aktifitas b/d inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard

Tujuan : toleransi aktifitas dapat tercapai

Intervensi :

a. Kaji respon pasien terhadap aktifitas, perhatikan adanya perubahan dalam keluhan kelemahan, keletihan dan dispnea berkenaan dengan aktifitas.

R/ Miokarditis menyebabkan inflamasi dan kemungkinan kerusakan fungsi sel-sel miokardial, sebagai akibat GJK

b. rancang perawatan dengan periode istirahat/tidur tanpa gangguan

R/ memberikan keseimbangan dalam kebutuhan dimana aktifitas bertumpu pada jantung, meningkatkan proses penyembuhan dan kemampuan koping emosional

c. bantu pasien dalam program latihan progresif bertahap sesegera mungkin untuk turun dari tempat tidur, mencatat respon tanda vital dan toleransi pasien pada peningkatan aktifitas

R/ saat inflamasi/ kondisi dasar teratasi, psien mungkin mampu melakukan aktifitas yang diinginkan kecuali kerusakan miokard yang permanen / terjadi komplikasi

d. berikan oksigen suplemen

R/ peningkatan ketersediaan oksigen untuk ambilan miokard untuk mengimbangi peningkatan konsumsi oksigen yang terjadi dengan aktifitas.

3. Penurunan curah jantung, resiko tinggi terhadap degenerasi miokardium

Tujuan : menurunkan beban lkerja jantung dan meningkatkan rasa nyaman

Intervensi :

a. dorong tirah baring dalam posisi semifowler

R/ menurunkan beban kerja jantung, memaksimalkan curah jantung

b. berikan tindakan kenyamanan misal : gosokan pungggung dan perubahan posisi, aktifitas hiburan dalam toleransi jantung

R/ meningkatkan relaksasi dan mengarahkan kembali perhatian.

c. berikan obat-obatan sesuai indikasi, misal digitalis, diuretik

R/ dapat diberikan untuk meningkatkan kontraktilitas miokardium dan menurunkan beban kerja jantung pada adanya GJK

d. Antibiotik/ antimikrobial intravena

R/ diberikan untuk mengatasi patogen yang teridentifikasi yang mencegah keterlibatan / kerusakan jantung lebih lanjut

e. siapkan pasien untuk pembedahan bila di indikasikan

R/ penggantian katup mungklin perlu untuk memperbaiki curah jantung

4. kurang pengetahuan ( kebutuhan belajar ) tentang kondisi/ pengobatan

Tujuan : – pasien mengetahui tentang apa yang ssedang di hadapinya

–          Terjadi perubahan prilaku pada diri pasien yang lebih kooperatif

Intervensi :

a. jelaskan efek inflamasi pada jantung secara individual kepada pasien. Ajarkan untuk memperhatikan gejala sehubungan dengan komplikasi/ berulangnya dan gejala yang dilaporkan dengan segera pada pemberi perawatan contoh demam ,peningkatan nyeri dada tak biasanya ,peningkatan berat badan ,peningkatan toleransi terhadap aktifitas.

R/ untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan sendiri, pasien perlu memahami penyebab khusus, pengobatan dan efek jangka panjang yang diharapkan dari kondisi inflamasi sesuai dengan gejala / tanda yang menunjukkan kekambuhan / komplikasi

b. anjurkan pasien / orang terdekat tentang dosis, tujuan, efek samping obat , kebutuhan diet/ pertimbangan khusus, aktifitas khusus ,aktifitas yang di izinkan/ dibatasi

R/ informasi perlu untuk meningkatkan perawatan diri , peningkatan keterlibatan pada program terapeutik mencegah komplikasi

d. kaji ulang perlunya antibiotik jangka panjang / terapi antimikrobial

R/ perawatan di rumah sakit lama/ pemberian antibiotik IV/ antimikrobial perlu sampai kultur darah negatif/ hasil darah lainnya menunjukkan tak ada infeksi

e. tingkatkan praktik kesehatan seperti nutrrisi yang baik , keseimbangan antara aktifitas/ istirahat , pantau status kesehatan sndiri dan melaporkan tanda infeksi

R/ kekuatan imun dan tahanan terhadap infeksi

f. identifikasi faktor resiko pencetus yang dapat dikontrol pasien contoh penggunaan obat IV dan penanganan masalah

R/ pasien mungkin termotivasi dengan adanya masalah jantung untuk mencari dukungan untuk menghentikan penyalahgunaan obat / prilaku merusak

 


Pengertian kateterisasi

Kateterisasi uretra adalah suatu tindakan prosedural mengeluarkan urin melalui orificium uretra kedalam kandung kemih dengan menggunakan kateter steril ( Depkes RI, 2006 ). Pengertian lain katererisasi uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli melalui uretra ( Purnomo, 2006 ). Istilah kateterisasi ini sudah dikenal  sejak zaman Hipokrates yang pada waktu itu menyebutkan tentang tindakan instrumentasi untuk mengeluarkan cairan tubuh.

Kateterisasi menetap adalah dengan memasang kateter dan dilakukan fiksasi dengan mengembangkan balon fiksasi sampai beberapa lama (kateter foley).

Gambar 2. Pemasangan kateter uretra

Sumber : www.emedicinehealth.procedure catheter ureter.com

 Tujuan kateterisasi

Tindakan kateterisasi ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis maupun untuk tujuan therapi ( Purnomo, 2006 ) :

1. Tindakan diagnosis antara lain :

a. Kateter pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urin guna pemeriksaan kulture urin. Tindakan ini diharapkan dapat mengurangi resiko terjadinya kontaminasi sampel urin oleh bakteri komensal yang terdapat disekitar kulit vulva atau vagina

b. Mengukur residu (sisa) urin yang dikerjakan sesaat setelah pasien miksi.

c.  Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologist antara lain :   sistografi atau pemeriksaan adanya refluks vesiko uretra melalui pemeriksaan  voiding cysto urethrografi (VCUG)

d. Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intravesika

e. Untuk menilai produksi urin pada saat dan setelah operasi besar.

2. Sedangkan tindakan kateterisasi urin untuk tujuan terapi antara lain :

a.  Mengeluarkan urin dari buli-buli pada keadaan obstruksi intravesikal baik yang disebabkan oleh hiperplasi prostat maupun oleh benda asing (bekuan darah ) yang menyumbat uretra.

b. Mengeluarkan urin pada disfungsi  buli-buli.

c. Diversi urin setelah tindakan operasi system urinary bagian bawah, yaitu pada prostatektomi, vesikolitotomy.

d. Sebagai splint setelah operasi rekonstriksi untuk tujuan stabilisasi uretra.

e. Pada tindakan keteterisasi bersih mandiri berkala (KBMB).

f. Memasukkan obat-obatan intaravesika antara lain sitostatika atau anti septic untuk buli-buli.

3.  Kesulitan dalam memasukkan kateter.

Kesulitan memasukkan kateter pada pasien pria dapat disebabkan oleh karena kateter tertahan diuretra pars bulbosa yang bentuknya seperti huruf “S”, ketegangan dari sfingter uretra eksterna karena klien merasa kesakitan dan ketakutan, atau terdapat sumbatan organik di uretra yang disebabkan oleh batu uretra, striktur uretra, kontraktur leher buli-buli, atau tumor uretra ( Purnomo,2006 ). Ketegangan sfingter uretra eksterna dapat diatasi dengan cara   :

a. Menekan tempat itu selama beberapa menit dengan ujung kateter sampai terjadi relaksasi sfingter dan diharapkan kateter dapat masuk dengan lancar ke buli-buli.

b. Pemberian anastesi topical berupa campuran lidokain hidroklorida 2 % dengan jelly 10-20 ml yang dimasukkan peruretrum, sebelum dilakukan kateterisasi

c. Pemberian sedative perenteral sebelum kateterisasi.

4.  Prinsip pemasangan kateter.

Setiap pemasangan kateter harus diperhatikan prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan yaitu :

a. Pemasangan kateter dilakukan secara aseptik dengan melakukan disinfeksi secukupnya memakai bahan yang tidak menimbulkan iritasi pada kulit genetalia dan jika perlu diberi profilaksis antibiotik sebelumnya.

b. Diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien.

c. Dipakai kateter dengan ukuran terkecil yang masih cukup efektif untuk melakukan drainase urin yaitu untuk orang dewasa ukuran 16F-18F. Dalam hal ini tidak diperkenankan memakai keteter logam pada tindakan kateterisasi pada pria karena akan menimbulkan kerusakan uretra.

d. Jika dibutuhkan pemakaian kateter menetap, diusahakan memakai system tertutup yaitu dengan menghubungkan kateter pada saluran penampung urin (urinbag). Kateter menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai dilakukan tindakan definitive terhadap penyebab retensi urine. Perlu diingat bahwa makin lama kateter dipasang makin besar kemungkinan terjadi penyulit berupa infeksi atau cidera uretra.

Prosedur pemasangan kateter

Tindakan keteterisasi merupakan tindakan infasive dan dapat menimbulkan rasa nyeri sehingga jika dikerjakan dengan cara yang keliru akan menimbulkan kerusakan saluran uretra yang permanen ( Purnomo,2006 ). Oleh karena itu sebelum menjalani tindakan ini klien harus diberi penjelasan dan menyatakan persetujuan tindakan medik ( informed consent ).

1. Persiapan alat

a. Kateter steril, sesuai ukuran yang dibutuhkan.

b. Kapas sublimate steril dalam tempatnya.

c. Kain kasa steril bila perlu

d. korentang steril pada tempatnya

e. Lubrikan (cairan pelumas) /jelly

f. Bengkok dua buah untuk kapas kotor dan penampung urin

g. pinset anatomis steril

h. Sarung tangan steril

2. Persiapan klien

a. Klien diberi penjelasan tentang hal-hal yang akan dilakukan.

b. Pasien diatur dalam posisi dorsal recumbent

3. Pelaksanaan pemasangan keteter

a. Pasang sampiran/scherm dan pintu ditutup

b. Perlak dan alas diletakkan dibawah bokong

c. Letakkan dua bengkok diantara kedua tungkai klien

Teknik pemberian jelly

1. Kateter dengan jelly yang dilumuri pada ujung kateter ( Purnomo,2006 ) :

a.   Penderita tidur terlentang, operator berdiri disebelah kanan penderita.

b.   Pakai sarung tangan steril, desinfeksi sekitar genetalia eksterna kemudian tutup dengan doek lubang, meatus uretra eksterna dibersihkan dengan larutan anti septik, pada yang belum sirkumsisi preputium harus dibuka lebih dahulu.

c.   Kateter yang telah diolesi dengan pelican/ K.Y. jelly dimasukkan keadalam urefisium eksterna. Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah bulbo-membranasea ( yaitu daerah sfingter uretra eksterna ) akan terasa tahanan  dalam hal ini pasien diperintahkan untuk mengambil nafas dalam supaya sfingter uretra eksterna menjadi lebih rileks.

d. Kateter terus didorong hingga masuk ke buli-buli yang ditandai dengan keluarnya urin dari lubang kateter.

e.   Sebaiknya kateter terus didorong masuk ke buli-buli lagi hingga percabangan kateter menyentuh meatus uretra eksterna.

f. Balon kateter dikembangkan, fiksasi dengan memasukkan aquades steril 5-10 ml, bila tidak menetap kateter dicabut perlahan-lahan sambil klien dianjurkan menarik nafas panjang.

2. Prosedur pemasangan  dengan jelly yang dimasukkan langsung pada meatus uretra eksterna ( Dudley, Eckersley, dan Paterson, 2007 ).

a. Tangan kiri petugas memegang penis klien dengan kain pengalas atau kasa. Preputium ditarik sedikit kepangkalnya dan dibersihkan dengan kapas sublimate  sekurang-kurangnya tiga kali.

b. Dengan memakai sarung tangan, spuit 10 cc yang sudah terisi jelly kemudian tangan kanan menyemprotkan jelly kedalam meathus uretra eksterna, urut kearah proksimal, dan biarkan jelly beberapa saat.

c.  Kateter dimaksukkan kedalam uretra perlahan-lahan dan pasien dianjurkan untuk menarik nafas panjang selanjutnya sama dengan cara pertama.

d. Setelah selesai pasien dirapikan kembali.

e.Peralatan dibersihkan, dibereskan dan dikembalikan ketempat semula.

STROKE

Posted: May 20, 2011 in Materi Keperawatan
Tags: ,


1. Pengertian

Menurut WHO( 1989) Stroke adalah deficit neurologist akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang terkena (Gofir, 2007 )

2. Klasifikasi stroke

Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan menjadi:

a.Stroke hemoragik
Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yeng disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat melakukan aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol.

b. Stroke non hemoragik
Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau angun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak (Brunner and Suddarth, 2005).

Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya, yaitu :

1. TIA’S (Trans Ischemic Attack)
Yaitu gangguan neurologist sesaat, beberapa menit atau beberapa jam saja dan gejala akan hilang sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.

2. Rind (Reversible Ischemic Neurologis Defict)
Gangguan neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu..

3. stroke in Volution
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.

4. Stroke Komplit
Gangguan neurologist yang timbul bersifat menetap atau permanent (Ngurah, 2006).

3. Etiologi
Ada beberapa factor risiko stroke yang sering teridentifikasi, yaitu ;

a. Hipertensi, dapat disebabkan oleh aterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah atau timbulnya thrombus sehingga dapat mengganggu aliran darah cerebral.

b. Aneurisma pembuluh darah cerebral
Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah penipisan dengan maneuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan.

c. Kelainan jantung / penyakit jantung
Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak output dan menurunkan aliran darah ke otak. Ddisamping itu dapat terjadi proses embolisasi yang bersumber pada kelainan jantung dan pembuluh darah.

d. Diabetes mellitus (DM)
Penderita DM berpotensi mengalami stroke karena 2 alasan, yeitu terjadinya peningkatan viskositas darah sehingga memperlambat aliran darah khususnya serebral dan adanya kelainan microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap kelainan yang terjadi pada pembuluh darah serebral.

e. Usia lanjut
Pada usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak.

f. Polocitemia
Pada policitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi lambat sehingga perfusi otak menurun.

g. Peningkatan kolesterol (lipid total)
Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya embolus dari lemak.

h. Obesitas
Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh drah otak.

i. Perokok
Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi aterosklerosis.

j. kurang aktivitas fisik
Kurang aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik termasuk kelenturan pembuluh darah (embuluh darah menjadi kaku), salah satunya pembuluh darah otak (Brunner and Suddart, 2005).

4. Patofisiologi

a. Stroke non hemoragik
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh thrombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat ddisebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.

b. Stroke hemoragik
Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak (Brunner and Suddart, 2005).

5. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala yang muncul sangat tergantung pada daerah dan luasnya daerah otak yang terkena.

a. Pengaruh terhadap status mental
1). Tidak sadar : 30% – 40%
2). Konfuse : 45% dari pasien biasanya sadar

b. Daerah arteri serebri media, arteri karotis interna akan menimbulkan:
1). Hemiplegia kontralateral yang disertai hemianesthesia (30%-80%)
2). Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35%-50%)
3). Apraksia bila mengenai hemisfer non dominant(30%)

c. Daerah arteri serebri anterior akan menimbulkan gejala:
1). hemiplegia dan hemianesthesia kontralateral terutama tungkai (30%-80%)
2). inkontinensia urin, afasia, atau apraksia tergantung hemisfer mana yang terkena

d. Daerah arteri serebri posterior
1). Nyeri spontan pada kepala
2). Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35-50%)

e. Daerah vertebra basiler akan menimbulkan:
1). Sering fatal karena mengenai pusat-pusat vital di batang otak
2). Hemiplegia alternans atau tetraplegia
3). Kelumpuhan pseudobulbar (kelumpuhan otot mata, kesulitan menelan, emosi labil)

Apabila dilihat bagian hemisfer mana yang terkena, gejala dapat berupa:

a. Stroke hemisfer kanan
1). Hemiparese sebelah kiri tubuh
2). Penilaian buruk
3). Mempunyai kerentanan terhadap sisi kontralateral sebagai kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan

b. stroke hemisfer kiri
1). mengalami hemiparese kanan
2). perilaku lambat dan sangat berhati-hati
3). kelainan bidang pandang sebelah kanan
4). disfagia global
5). afasia
6). mudah frustasi (Brunner and Suddart, 2005).
6. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan penunjang disgnostik yang dapat dilakukan adalah :
a. laboratorium: mengarah pada pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kolesterol, dan bila perlu analisa gas darah, gula darah dsb.
b. CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan atau infark
c. MRI untuk mengetahui adanya edema, infark, hematom dan bergesernya struktur otak
d. Angiografi untuk mengetahui penyebab dan gambaran yang jelas mengenai pemuluh darah yang terganggu (Ngurah, 2006).

7 Penatalaksanaan medis

Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:
a. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil
b. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan ogsigen sesuai kebutuhan
c. Tanda-tanda vital diusahakan stabil
d. Bed rest
e. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia
f. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan kateterisasi
h. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik
i. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang dapat meningkatkan TIK
j. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT (Ngurah, 2005).

8. Penatalaksanaan spesifik berupa:

a. Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis, antikoagulan, obat hemoragik
b. Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor, tindakan pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi (Ngurah, 2005).

9. Komplikasi

Komplikasi stroke menurut Satyanegara (1998):
a. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama)
1) Edema serebri: defisit neurologis cenderung memberat, dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan akhirnya menimbulkan kematian.
2) Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.

b. Komplikasi Jangka pendek (1-14 hari pertama)
1) Pneumonia: Akibat immobilisasi lama
2) Infark miokard
3) Emboli paru: Cenderung terjadi 7 -14 hari pasca stroke, seringkali pada saat penderita mulai mobilisasi.
4) Stroke rekuren: Dapat terjadi pada setiap saat.

c. Komplikasi Jangka panjang
Stroke rekuren, infark miokard, gangguan vaskular lain: penyakit vascular perifer (Ngurah, 2005).
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang terjadi pada pasien stroke yaitu:
1). Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi
2). Penurunan darah serebral
3). Embolisme serebral.
4). Kontraktur (kecacatan)